Tentang Malam di Jakarta

Awalnya tulisan ini mau bercerita tentang ide menjadi figur publik kaya raya yang bisa ngapain aja termasuk berbuat baik ke sekitar. Seakan cara menjadi kaya hanyalah dengan jadi terkenal. Koreksi, bukan sekedar terkenal tapi jadi selebriti, artis, penyanyi, name it. Muncul dari mana ide ini, coba tebak?

"Rasane dadi artis ndek Jakarta iki wes pasti sukses yoh? Nek gak iso tuku omah gedhe, yo rabi karo pengusaha, enak uripe" - Yaps, yang satu ini kalimat favorit pembuka obrolan tante tetangga setiap kali saya yang dari Jakarta pulang kampung. 

(Eits tante, mau disclaimer dulu, saya ngga ngartis nih di Jakarta, kerja kantoran biasa, bidang seni sih namun bukan (atau mungkin belum) jadi seniman, baru jadi support system para seniman desainer visual.)

Mirisnya, begitu rata-rata pandangan orang luar Jakarta yang tinggal di daerah yang menyaksikan kehidupan Jakartans dari televisi. Jelas, yang jadi representasi ya para selebriti. Di batas sadar bahwa yang di layar kaca bisa jadi settingan, tetap saja pandangan bahwa hidup di Jakarta bisa cepat kaya sayangnya masih jadi celetukan hangat tiap kali ada obrolan basa basi.

-

Pada akhirnya cerita ini soal Jakarta dan kepenatannya. Tentang slogan "Jakarta keras" yang dikeluhkan warganya. Masih hitungan jari dalam satuan tahun sih ya kalau dipikir-pikir saya menyatu dengan hiruk pikuk ibukota ini. Semuanya yang serba cepat, serba berkejaran. Kota yang rasa rasanya nggak berhenti buat berambisi, bersaing satu dengan yang lain. 

Jakarta selalu menawarkan alur cerita yang berkejaran dengan waktu. Bukan hiperbola rasanya kalau bercerita tentang akses dan informasi yang lebih mudah didapatkan di kota ini. Namun, Jakarta punya cerita lebih dari sekedar metropolitan yang tak pernah tidur. 

Salah satu sinema yang rasanya cukup menggambarkan Jakarta adalah "Selamat pagi, malam". In the Absence of the Sun kalau judul internasionalnya, film yang bercerita tentang Jakarta setelah matahari tenggelam melalui cerita tiga perempuan yang hidupnya berubah di suatu malam melankolis di Jakarta. Dirilis di tahun 2014, film ini mengangkat sebuah pernyataan bahwa ditengah huru hara kehidupan keras Jakarta, masih ada hal-hal yang bisa dimaknai indah. Sesederhana berburu ketoprak di ujung malam dengan diantar setapak kaki. Seakan malam jadi berasa lebih hidup untuk diri sendiri kalau di Jakarta. 

Selamat pagi, malam juga mengangkat obsesi soal tren. Kala itu yang dicontohkan latah orang-orang akan yoghurt, rainbow cake, sampai sandal Crocs. Selama nonton jadi mikir, gila ya korban tren paling deket sebenernya ya kita-kita yang di Jakarta. Lalu didramatisir di televisi, lari ke social media, kemudian sampai ke paparan anak-anak daerah yang menelan mentah-mentah. Pada akhirnya kita semua sama, korban tren dan korban media.

Malam hari di Jakarta merupakan momen dimana kota ini akhirnya bisa beristirahat dan menghela nafasnya. Topeng topeng siang hari mulai dilepas biar bisa kasi penghargaan sama diri sendiri. Dengan caranya masing-masing. Ada yang memilih menyendiri, menyusuri trotoar, lalu ngobrol dengan abang tukang ketoprak. Bertukar basa basi, menanyakan asal dan sudah berapa lama disini, sembari menunggu ketopraknya jadi. Malam hari di Jakarta, manusianya jadi lebih jujur dengan diri masing-masing.

-

"Film ini bukan hanya menjadi love letter terhadap Jakarta, tetapi juga terhadap semua kota besar yang mengalami peperangan identitas. Film ini dibuat untuk manusia-manusia urban yang mengalami kesepian ditengah-tengah keramaian. Semoga kita semua bisa mengarungi kota yang membingungkan ini. Dan semoga kota yang sudah terus-terusan di-abused ini bisa tetap selamat, dan berdiri tegap bagaikan seorang penyanyi lounge cantik yang tidak henti-hentinya bersenandung."

Lucky Kuswandi – Writer, Editor, & Director

-

Lalu, tentang menjadi kaya dan terkenal? Entah. Mungkin memang jadi mudah berbuat baik kalau itu tujuannya, tapi lagi-lagi definisi kaya dan terkenal sama aja dengan Jakarta dan topengnya. Harus tunggu malam, biar jadi jujur, merangkul penat dan beristirahat dari kata tuntutan sempurna.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sharing Film: Bhoothnath

Expect the Unexpected, Katanya.